Pertumbuhan
ekonomi Indonesia cukup stabil dalam beberapa tahun terakhir ini
walaupun di tengah krisis keuangan dan ekonomi yang sempat melanda
beberapa negara di dunia sejak tahun 2008. Salah satu faktor yang
membuat ekonomi Indonesia yang tidak terpengaruh dengan krisis ekonomi
yang melanda dunia kali ini adalah karena adanya usaha yang berskala
kecil dan menengah menjadi penunjang bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Usaha yang berskala kecil dan menengah hampir tidak terpengaruh bahkan
terus bertumbuh di kala dunia tengah menghadapi krisis ekonomi.
Menyadari bahwa sektor usaha kecil dan
menengah ini sebagai penunjang ekonomi Indonesia namun umumnya memiliki
keterbatasan sumber daya, maka Pemerintah mengeluarkan salah satu
kebijakan untuk memberikan kemudahan bagi Usaha Kecil dan Menengah ini
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Kebijakan ini diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Kebijakan ini mengatur bagi Wajib Pajak
(baik yang berupa perseorangan maupun yang berbentuk badan usaha) dengan
peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun pajaknya tidak melebihi Rp 4,8
miliar (diistilahkan sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu) dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% dari peredaran bruto
(omzet) dan bersifat final. Kebijakan ini dibuat dengan tujuan untuk
menyederhanakan dan memudahkan dalam melakukan pemenuhan kewajiban PPh
bagi Wajib Pajak Usaha Kecil dan Menengah.
Wajib Pajak yang Dikenai PPh 1% dari Peredaran Bruto
Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan
sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan akan
dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 sebesar 1%
dari Peredaran Bruto adalah Wajib Pajak yang menerima penghasilan dari
usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1
(satu) tahun pajak, yang terdiri dari:
- Wajib Pajak Orang Pribadi, tidak termasuk yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap;dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. - Wajib Pajak Badan, tidak termasuk:
a. bentuk usaha tetap;
b. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
c. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4,8 miliar.
Wajib Pajak yang Dikenai PPh 1% yang Dalam Suatu Tahun Pajak Peredaran Brutonya Lebih dari Rp 4,8 Miliar
Wajib Pajak yang sebelumnya termasuk
sebagai kategori Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto tertentu dan
telah dikenai PPh sebesar 1%, apabila pada suatu masa peredaran bruto
kumulatif yang diperoleh selama tahun berjalan telah melebihi Rp 4,8
miliar, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif PPh umum sesuai Pasal 17 UU
PPh.
Contoh: Selama tahun pajak 2013 PT ABC
memiliki peredaran bruto sebesar Rp 3 miliar. Maka selama tahun pajak
2014, PT ABC akan dikenakan PPh sesuai ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013
sebesar 1% dari peredaran bruto dan bersifat final. Apabila pada bulan
Juli 2014 peredaran bruto PT ABC selama Januari 2014 s.d. Juli 2014
telah mencapai Rp 5 miliar (melebihi Rp 4,8 miliar), maka atas
penghasilan yang diterima PT ABC mulai Juli 2014 s.d. Desember 2014
tetap dikenakan PPh sebesar 1% dari peredaran bruto dan bersifat final.
Mulai Januari 2015 (sampai dengan Desember 2015), barulah penghasilan
yang diterima oleh PT ABC ini dikenakan PPh dengan tarif umum sesuai
dengan ketentuan Pasal 17 UU PPh.
Penentuan Besarnya Peredaran Bruto
Peredaran Bruto yang tidak melebihi Rp
4,8 miliar yang menjadi batasan bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto
tertentu ini ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha
seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto
dari:
a. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang meliputi:
- Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
- pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,dan penari;
- olahragawan;
- penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
- pengarang, peneliti, dan penerjemah;
- agen iklan;
- pengawas atau pengelola proyek;
- perantara;
- petugas penjaja barang dagangan;
- agen asuransi; dan
- distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya;
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perpajakan tersendiri (misalnya penghasilan sewa tanah/bangunan, penghasilan jasa konstruksi);
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perpajakan tersendiri (misalnya penghasilan sewa tanah/bangunan, penghasilan jasa konstruksi);
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Kredit Pajak Luar Negeri
Apabila Wajib Pajak dengan Peredaran
Bruto tertentu yang dikenai PPh sebesar 1% dan bersifat final juga
menerima penghasilan dari Luar Negeri yang telah dipotong pajak oleh
Negara sumber penghasilan tersebut, maka pajak penghasilan yang telah
dipotong oleh Negara sumber penghasilan tersebut dapat dikreditkan
terhadap PPh yang terutang sesuai dengan ketentuan Pasal 24 UU PPh.
Kompensasi Kerugian Fiskal
Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto
tertentu yang dikenai PPh sebesar 1% dan bersifat final yang
menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan
penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu 5 (lima) Tahun Pajak tersebut;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu 5 (lima) Tahun Pajak tersebut;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
Contoh: PT DEF pada Tahun Pajak 2012
(ketika masih dikenakan PPh dengan tarif umum) mengalami kerugian secara
fiskal sebesar Rp 100 juta. Selama Tahun Pajak 2013 hingga 2018
penghasilan dan pengenaan pajak PT DEF adalah sebagai berikut:
- Tahun Pajak 2013 (periode Januari s.d. Juni ketika dikenakan PPh dengan tarif umum) PT DEF memperoleh Laba Fiskal sebesar Rp 25 juta. Sedangkan untuk periode Juli s.d. Desember 2013 perusahaan telah dikenakan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 dan memperoleh Laba Fiskal sebesar Rp 10 juta.
- Tahun Pajak 2014 s.d. 2016 PT DEF dikenai PPh sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 sebesar 1% dan bersifat final dan setiap tahunnya mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 5 juta.
- Tahun Pajak 2017 PT DEF telah dikenai PPh yang bersifat tidak final dan memperoleh Laba Fiskal sebesar Rp 40 juta.
- Tahun Pajak 2018 PT DEF dikenai PPh yang bersifat tidak final dan memperoleh Laba Fiskal sebesar Rp 80 juta.
Maka perhitungan kompensasi kerugian
fiskalnya adalah sebagai berikut: Rugi Fiskal tahun 2012 sebesar Rp 100
juta akan dikompensasikan dengan Laba Fiskal pada tahun-tahun berikut
sebesar:
- Tahun Pajak 2013 (periode Januari s.d. Juni) sebesar Rp 25 juta.
- Tahun Pajak 2017 Rp 40 juta.
Sisa Kerugian Fiskal dari tahun pajak
2012 sebesar Rp 35 juta sudah tidak dapat dikompensasikan lagi dengan
laba fiskal tahun 2018 karena telah melampaui jangka waktu 5 (lima)
tahun.
Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh
Apabila Wajib Pajak dengan Peredaran
Bruto Tertentu yang telah dikenai PPh sebesar 1% dan bersifat final ini
menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek Pemotongan
dan/atau Pemungutan PPh (yaitu PPh Pasal 21 PPh Pasal 22, PPh Pasal 22
Impor dan PPh Pasal 23), maka atas penghasilan yang diterimanya ini
dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak
lain.
Pembebasan dari pemotongan dan/atau
pemungutan PPh oleh pihak lain ini diberikan melalui Surat Keterangan
Bebas (SKB). SKB ini diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar berdasarkan permohonan yang diajukan oleh
Wajib Pajak.
Kewajiban Penyetoran dan Pelaporan Pajak Masa
1. Kewajiban Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2)
Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang
telah dikenai PPh sebesar 1% yang bersifat final sesuai ketentuan PP
Nomor 46 Tahun 2013, wajib menyetor PPh sebesar 1% dari peredaran bruto
yang diperoleh setiap bulannya ke kantor pos atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
PPh yang terutang ini disetorkan sebagai
PPh Pasal 4 ayat (2) dengan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis
Setoran 420 dengan uraian sebagai “Penghasilan Usaha WP yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu”.
Wajib Pajak yang telah menyetorkan PPh
Pasal 4 ayat (2) dengan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran
420 ini wajib dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lama 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir. Kewajiban pelaporan ini tidak perlu
dilakukan dan dianggap telah dilaporkan apabila penyetoran PPh Pasal 4
ayat (2) tersebut telah mendapatkan validasi Nomor Transaksi Penerimaan
Negara (NTPN) yang tercantum pada SSP.
2. Kewajiban Penyetoran PPh Pasal 25
Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang
telah dikenai PPh sebesar 1% yang bersifat final sesuai ketentuan PP
Nomor 46 Tahun 2013, tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran PPh
Pasal 25. Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 hanya perlu dilakukan apabila
Wajib Pajak ini selain menerima atau memperoleh penghasilan yang telah
dikenai PPh sebesar 1% yang bersifat final juga memperoleh penghasilan
yang dikenai PPh berdasarkan tarif umum.
Kewajiban Pelaporan Pajak Tahunan
Atas penghasilan dari usaha yang dikenai
PPh yang bersifat final sesuai ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh pada kelompok
penghasilan yang dikenai pajak final dan/atau bersifat final:
- Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dilaporkan pada Formulir 1770-III Bagian A butir 14 (Penghasilan Lain yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat final;
- Untuk Wajib Pajak Badan dilaporkan pada Formulir 1771-IV Bagian A butir 16 dengan mengisi “Penghasilan Usaha WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu”. (SYA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar